Minggu, 24 Oktober 2010

memaksa..

seringkali..kita musti rela menerima kenyataan bahwa kita gak bisa memaksakan bahkan hal sepele kpd orang lain..

kayak sekarang ini. aku cm pengen menyampaikan opiniku, meski terindikasi mngintervensi, tp nyatanya emang g slalu bs. hff...kadang cm pengen mengajak melihat sesuatu dr sisi yg laen. knp hampir slalu g berterima?? jgn2 ada yg salah dgnku? oke, kuakui aku emang bs dibilang alergi kritik, aku g suka ada yg sok tw ngasih tw ini itu. mgkn itu yg berbalik membuatku susah mengajak orang lain melihat sesuatu dr cara pandangku..

so?? what should i do then??

Sabtu, 23 Oktober 2010

prolog..

maaaaass..tungguuuu..
hehehe...hosh..hosh..makasi yah...

owhh...suaranyaa..serupa desahan yang mengajak pikiranku melayang-layang. aku makin bingung menguasai diri berdua saja di lift bersamanya. shit!! ini kenapa lift jd beringsut bgitu pelan?? lihatlah..aku sudah bermandi peluh menahan sgala pikiran nakal yg tiba-tiba berkeliaran seenaknya saja.

mas, di lantai 21 yah ternyata?? di bagian apa mas?? saya kadang maen ke lantai 21 jg loh...kok gak pernah liat mas ya...
hehe..iya, saya baru mbak. baru sebulan ini saya pindah ke sini.

oohh..God..tentu saja dia gak bakalan liat aku, aku slalu saja menderita nervous hebat tiap kali melihatnya hingga aku slalu memilih untuk menghindarinya daripada tau-tau aku jatuh pingsan..hahahahaha...kau tau,dlm sebulan ini saja aku sudah mampu mengumpulkan smua informasi tentangnya. dari identitas umum sampe kisah hidupnya yang menakjubkan itu.

tinggggg...
eh mas, bengong aja, hahahaha...saya duluan yah..
eh oh.. iya mbak..ati2 ya..
hahahaha...iya mas, see u..

fiuuuhh....smoga bsk aku bs lebih beradab menghadapinya...hehehhe...

Minggu, 17 Oktober 2010

n.t.

hmmmm...gemes!!
aku ternyata masi orang yg sama yg blm bs membiarkan orang lain, bahkan bila itu teman dekat skalipun, melakukan hal-hal yg mereka senang sekaligus menyakitiku. aku tw, g slalu mreka berniat melakukan itu dgn sadar, krn seringkali kita pun melakukan hal-hal secara spontan tanpa menyadari efeknya pd orang lain.
ktika aku memutuskan untuk mundur, menarik diri dari dunianya, seharusnya memang aku tak lagi menaruh perhatian pd crita mreka.
hei...apa aku kurang kerjaan?? seharusnya sih gak. blm daftar sidang, blm ngedit poto2 project kmaren, blajar photosop, blm lg buku2 yg setia nungguin aku. aku seharusnya kelebihan kerjaan, apalagi klo niat bisnis itu aku seriusi. tp knp masi aja memberi waktu pd hal-hal gak perlu itu.
aku cm jengkel melihat mreka seolah tertawa mengejekku. aku benci kalah. aku gak mau disaingi. aku gak mau dianggap bodoh. aku benci ditertawai.
hfffffffffffffffff...

Relationship is not about how much love you have in the beginning but how much love you build till the end...

Unta
Minggu, 17 Oktober 2010 | 04:02 WIB

SAMUEL MULIA


Baru saja selesai mengobrol dengan seorang teman mengenai keputusan dirinya untuk berhenti pacaran, eh…datang sebuah pesan di BB. Pesan yang dengan rajinnya dikirimkan seorang asisten perancang mode yang buat saya seperti penyambung suara Sang Khalik. Karena setiap saat ia mengirim pesan, yaa…kok pesannya itu selalu tepat dengan situasi yang sedang dihadapi. Bunyi pesannya begini. Relationship is not about how much love you have in the beginning but how much love you build till the end.

Gagal jadi pacar

Mengapa teman saya ingin berhenti pacaran? Karena ia tak mencintai pasangannya lagi. Ia merasa bosan dengan cara mereka berkomunikasi, dengan cara menjalani masa percintaan itu. Menurutnya, mereka sudah berusaha sedemikian rupa untuk mencari jalan keluarnya, tetapi tak menjanjikan apa-apa.

Sekarang saya mengerti mengapa ada manusia kemudian bercerai. Kebosanan akan melihat perilaku pasangan, menimbulkan keberanian untuk berhenti mencintai, karena cinta yang awal itu makin lama makin berkurang. Terkikis habis bersama jalannya waktu melihat pasangan yang sama sekali tak menggairahkan lagi.

Dulu, saya pikir orang itu kalau sudah mencintai pada awalnya, akan berakhir sampai mati. Mengapa saya berpikir demikian, karena saya melihat perjalanan perkawinan orangtua saya, dan beberapa orangtua teman-teman saya yang usianya sudah di atas enam puluh tahun. Yang suaminya sudah berselingkuh saja di masa tuanya, bahkan menyimpan selingkuhannya secara nyata-nyata, masih tetap tak bercerai.

Waktu itu saya berpikir apakah mungkin orangtua kami yang mendapat pendidikan di zaman dahulu yang katanya keras itu, dicekoki sedemikian rupa bahwa sekali menikah itu untuk selamanya. Suka atau tidak suka, cinta atau kemudian tidak cinta lagi, mulutnya ditutup saja.

Terutama untuk kaum wanitanya. Maka perkawinan itu tetap langgeng dengan melahirkan anak, cucu, cicit, buyut, meski cinta tak perlu didiskusikan atau dipermasalahkan. Yang penting langgeng. Rasa bosan itu bisa ditutupi kalau kebetulan pasangannya kaya raya, dibelikan tas termahal di dunia, berlian segepok, dan mungkin juga rumah baru sekian hektar lagi.

Jadi teman?

Kemudian saat teman saya mengajukan bahwa hubungan itu harus berhenti, maka hal pertama yang keluar dari mulut pasangannya adalah ”Kamu jatuh cinta sama orang lain, ya?” Saya tak meneruskan diskusi itu. Bingung soalnya. Yang membuat bingung adalah mengapa selalu yang pertama disodorkan adalah alasan dari pihak luar, lha wong masalahnya dari dalam?

Mengapa orang dalam itu susah sekali melihat kalau punya banyak kekurangan dan tak berani mengakui kalau sudah mampu membuat sebuah hubungan menjadi basi, kemudian loncat ke luar dan mengatakan ada orang ketiga. Seolah-olah, dunia luar itu menjadi pencetus yang utama.

Teman saya melanjutkan ceritanya, kalau akhir dari hubungan itu disepakati menjadi sebuah hubungan pertemanan. Saya yang mendengar kemudian berpikir lagi. Menjadi teman? Saya bingung lagi. Teman apaan? Saya kemudian bercerita kisah asmara saya. Waktu pertama kali saya berhadapan dengannya, itu karena obyektifnya mencari pacar, bukan teman. Kalau sekarang gagal jadi pacar, kemudian dijadikan teman, itu bukan tujuannya.

Kalau kebutuhan saya membeli sepatu, terus tak berhasil mendapatkannya, yaa…nggak berarti saya harus beli tas, hanya gara-gara kebutuhan yang utama tak terpenuhi, bukan? Jadi saya pikir adalah sebuah kekeliruan kalau setelah pacaran tak berhasil, kemudian hubungan itu dijadikan hubungan pertemanan.

Menjadi teman bukan sebuah pengganti hubungan asmara yang kandas di tengah jalan. Terus, kenapa kalau kemudian tak bisa jadi teman? Selesai saja. Apakah saya akan dihakimi sebagaimana manusia yang tidak mengampuni? Yang tak memiliki tenggang rasa?

Kalau dipikir lagi mau jadi teman apa? Lha wong selama pacaran saya tahu tabiatnya, sama seperti ia tahu tabiat saya. Jadi kalau berteman pun, bakal tak membuahkan hasil gemilang. Kalau hanya menjadi sekadar teman tanpa kualitas pertemanan yang oke, yaa…nggak apa-apa juga.

Itu pengalaman saya. Mungkin saya harus ingat akan pesan teman saya di atas, meski saya belum tentu bisa. Kalau mencintai itu tak perlu menggebu-gebu di awal, sehingga saya kehabisan bahan bakar ketika mau membangun cinta dalam sebuah perjalanan yang begitu panjangnya. Perjalanan cinta itu bukan seperti lomba lari seratus meter, tetapi seperti lari maraton.

Tuh, saya pandai, kan kalau sudah memberi nasihat. Padahal, saya sendiri gagal dalam percintaan. Mungkin selain saya harus belajar dari pelari, juga dari unta. Unta bisa hidup di gurun yang panas, saya memiliki hubungan asmara yang kadang seperti gurun. Panas dan kering. Akan tetapi, saya harus bertahan. Unta saja bisa, masak saya enggak?


sumber: http://cetak.kompas.com/read/2010/10/17/04020231/unta

nge-blog

ngungsi ke blog lg aaaahh...
fb uda g nyaman, there's a lot of potential annoying things...just take a break for a while..
hfff...aku sbenernya g suka rahasia, tp aku kadang memilih untuk tidak membaginya pd orang yg salah. seringkali aku mlakukan kesalahan dgn terlalu banyak bicara, terlalu banyak bercerita. smua itu aku lakuin awalnya demi meninggalkan jejak. aku g pengen idup yg cm bentar ini membuatku g jd apa-apa. aku pengen kepergianku ditangisi. tp gmn pd mw nangis kalo bahkan aku pun g dikenal. hahahaha...apa sih ini??

Sabtu, 16 Oktober 2010

pahit dan manis

hehehehe...kau tau...kita slalu bisa blajar dr orang lain, dr hari-hari yang nampak biasa saja..
smua cm perlu kau resapi pelan-pelan..seperti saat menyesap tiap tetes coklat panas yang nikmat itu, pahit tapi manis. seperti jg hidup, meski terasa pahit, tp jika kau resapi benar-benar..ada manis yang tercecap..asal kau ingat untuk segera menuntaskannya selagi panas..
ohhh...

senja dan tepi langit..


jumat sore yang nampak biasa-biasa saja..
hari ini pengunjung tidak terlalu ramai. yah..bahkan di akhir pekan sperti ini, apa sih yang dicari dari sebuah toko buku? manusia kini terlena dengan gemerlap dunia elektronik. tak heran jika toko buku tempatku bekerja ini hanya mengharap luapan pengunjung di awal tahun ajaran sekolah saja. meski aku tetap bersyukur karena toko buku ini masih memiliki pelanggan-pelanggan setia sepertinya.
ya, dia..
akhirnya setelah kutandai hari-hariku dengan pulpen merah sisa diskon taun lalu yang merambat memasuki angka ke 95, akhirnya aku bisa melihatnya lagi. menyambut kedatangannya yang selalu di sore hari, seperti kali ini.
dengan senyum yang sengaja kutarik di sepanjang wajah, kusodorkan sebuah kartu kecil kepadanya.. tentu saja aku sudah yakin bahwa dia tak akan melihatku, bahkan dengan lirikan sekalipun. segera setelah ia sodorkan tas dan jaketnya, ia berlalu cepat sambil menggumamkan terima kasih yang di telingaku sudah seperti alunan gending jawa yang memabukkan orang desa, hahaha..lebay mungkin kau pikir. yah, tapi inilah aku... yang selalu berdebar stiap berangkat kerja membayangkan akan kedatangannya.
hahahhaa...tentu saja aku terlalu munafik untuk membayangkan hepi ending dengannya.. oia, aku lupa mengenalkannya denganmu ya...aku menyebutnya Senja..simply karna dia slalu muncul di sore hari,dulu saat ia masih berkuliah di kampus dekat toko buku ini, ia sering datang di siang hari, sekedar untuk membaca-baca dan mencari buku sisa diskon, hahaahaha...tabiat umum para mahasiswa yah.. dan kini setelah ia bekerja (sttt...aku mengidentifikasinya dari gaya berpakaiannya yang makin rapi dan baju-baju batik yang ia kenakan di hari jumat) ia slalu muncul
saat matahari mengubah langit menjadi lembaran jingga yang indah. jadi tak salah kupilihkan nama Senja untuknya, hehhehehe..
saat aku tengah sibuk melamunkan bayangnya, tau-tau dia sudah berdiri di kasir sebelah mejaku. dengan suaranya yang macho itu, Senja menanyakan satu judul novel SGA yang baru. yaaahh..wajah ganteng dan suara machonya itu saja sudah cukup membuatku berdebar, belum lagi mendapatinya menyukai SGA, pengarang yang karya-karyanya juga rapi tersimpan di rak buku kamar kosku, hanya membuatku makin merindui sosok Senja. sayangnya buku yang ia cari sudah habis stoknya di toko kami. memang novel SGA kali ini terbilang cukup nge-pop, jadi tak heran bisa laris dalam hitungan hari. tapi tentu saja slalu ada hikmah dari smuanya ini. kau tau, Senja menerima tawaran Mbak Leta, kasir kami, untuk meninggalkan nomor telepon agar bisa kami hubungi saat stok novel SGA datang lagi. wuaaaaaahh...kau pasti bisa merasakan girangnya hatiku. dengan cermat aku mencuri dengar rangkaian nomor yang ia sebutkan. dan aku berusaha mengingatnya sambil tetap berusaha nampak wajar saat merogoh hape di kantung kerjaku seraya mengetikkan nomornya di phonebook hape.
kau tau, ini bukan yang pertama kalinya. stidaknya ini sudah kali ketiga ia memesan buku di toko kami. namun slalu saja aku tak berhasil menghubunginya karena baru kali ini aku mempunyai hape, barang yang sangat berharga di hidup dengan gaji 450ribu per bulanku ini. sudah..tak usah kau bingung membayangkan hidup dengan uang sesedikit itu. stidaknya aku masi bisa bertahan sampai sekarang kan??
wah kenapa jadi melantur ke mana-mana.. lihat, Senja tiba-tiba sudah berdiri di depanku sambil mengangsurkan sebuah buku. 'Mencari Tepi Langit' karangan Fauzan Mukrim. tentu saja buku itu diberikan kepadaku bukan sebagai hadiah(hahahahaha...ngarep banget yah aku), tp untuk diberi sampul. inilah satu lagi kebaikan toko buku kami, selain memberi diskon setiap hari, kami juga memberikan sampul gratis untuk setiap buku yang dibeli. dengan cekatan kubungkus buku itu dengan sampul plastik. saat-saat seperti ini, aku ingiiiiin skali sekedar menanyakan kabarnya. namun apa daya, seringkali ia mengacuhkanku dengan berbinccang bersama temannya jika ia datang berdua, atau sekedar melihat-lihat alat tulis di pojok sana dan kembali saat buku sudah tersampul rapi. kali ini juga. ia kembali untuk mengambil buku dan tas yang ia titipkan.
setelah itu... aku kembali termangu memandanginya berlalu dengan ucapan terimakasih yang tetap memabukkan itu. aku harap, novel SGA segera datang dan ia segera kemari mengambilnya. yah..aku harap begitu...