Minggu, 17 Oktober 2010

Relationship is not about how much love you have in the beginning but how much love you build till the end...

Unta
Minggu, 17 Oktober 2010 | 04:02 WIB

SAMUEL MULIA


Baru saja selesai mengobrol dengan seorang teman mengenai keputusan dirinya untuk berhenti pacaran, eh…datang sebuah pesan di BB. Pesan yang dengan rajinnya dikirimkan seorang asisten perancang mode yang buat saya seperti penyambung suara Sang Khalik. Karena setiap saat ia mengirim pesan, yaa…kok pesannya itu selalu tepat dengan situasi yang sedang dihadapi. Bunyi pesannya begini. Relationship is not about how much love you have in the beginning but how much love you build till the end.

Gagal jadi pacar

Mengapa teman saya ingin berhenti pacaran? Karena ia tak mencintai pasangannya lagi. Ia merasa bosan dengan cara mereka berkomunikasi, dengan cara menjalani masa percintaan itu. Menurutnya, mereka sudah berusaha sedemikian rupa untuk mencari jalan keluarnya, tetapi tak menjanjikan apa-apa.

Sekarang saya mengerti mengapa ada manusia kemudian bercerai. Kebosanan akan melihat perilaku pasangan, menimbulkan keberanian untuk berhenti mencintai, karena cinta yang awal itu makin lama makin berkurang. Terkikis habis bersama jalannya waktu melihat pasangan yang sama sekali tak menggairahkan lagi.

Dulu, saya pikir orang itu kalau sudah mencintai pada awalnya, akan berakhir sampai mati. Mengapa saya berpikir demikian, karena saya melihat perjalanan perkawinan orangtua saya, dan beberapa orangtua teman-teman saya yang usianya sudah di atas enam puluh tahun. Yang suaminya sudah berselingkuh saja di masa tuanya, bahkan menyimpan selingkuhannya secara nyata-nyata, masih tetap tak bercerai.

Waktu itu saya berpikir apakah mungkin orangtua kami yang mendapat pendidikan di zaman dahulu yang katanya keras itu, dicekoki sedemikian rupa bahwa sekali menikah itu untuk selamanya. Suka atau tidak suka, cinta atau kemudian tidak cinta lagi, mulutnya ditutup saja.

Terutama untuk kaum wanitanya. Maka perkawinan itu tetap langgeng dengan melahirkan anak, cucu, cicit, buyut, meski cinta tak perlu didiskusikan atau dipermasalahkan. Yang penting langgeng. Rasa bosan itu bisa ditutupi kalau kebetulan pasangannya kaya raya, dibelikan tas termahal di dunia, berlian segepok, dan mungkin juga rumah baru sekian hektar lagi.

Jadi teman?

Kemudian saat teman saya mengajukan bahwa hubungan itu harus berhenti, maka hal pertama yang keluar dari mulut pasangannya adalah ”Kamu jatuh cinta sama orang lain, ya?” Saya tak meneruskan diskusi itu. Bingung soalnya. Yang membuat bingung adalah mengapa selalu yang pertama disodorkan adalah alasan dari pihak luar, lha wong masalahnya dari dalam?

Mengapa orang dalam itu susah sekali melihat kalau punya banyak kekurangan dan tak berani mengakui kalau sudah mampu membuat sebuah hubungan menjadi basi, kemudian loncat ke luar dan mengatakan ada orang ketiga. Seolah-olah, dunia luar itu menjadi pencetus yang utama.

Teman saya melanjutkan ceritanya, kalau akhir dari hubungan itu disepakati menjadi sebuah hubungan pertemanan. Saya yang mendengar kemudian berpikir lagi. Menjadi teman? Saya bingung lagi. Teman apaan? Saya kemudian bercerita kisah asmara saya. Waktu pertama kali saya berhadapan dengannya, itu karena obyektifnya mencari pacar, bukan teman. Kalau sekarang gagal jadi pacar, kemudian dijadikan teman, itu bukan tujuannya.

Kalau kebutuhan saya membeli sepatu, terus tak berhasil mendapatkannya, yaa…nggak berarti saya harus beli tas, hanya gara-gara kebutuhan yang utama tak terpenuhi, bukan? Jadi saya pikir adalah sebuah kekeliruan kalau setelah pacaran tak berhasil, kemudian hubungan itu dijadikan hubungan pertemanan.

Menjadi teman bukan sebuah pengganti hubungan asmara yang kandas di tengah jalan. Terus, kenapa kalau kemudian tak bisa jadi teman? Selesai saja. Apakah saya akan dihakimi sebagaimana manusia yang tidak mengampuni? Yang tak memiliki tenggang rasa?

Kalau dipikir lagi mau jadi teman apa? Lha wong selama pacaran saya tahu tabiatnya, sama seperti ia tahu tabiat saya. Jadi kalau berteman pun, bakal tak membuahkan hasil gemilang. Kalau hanya menjadi sekadar teman tanpa kualitas pertemanan yang oke, yaa…nggak apa-apa juga.

Itu pengalaman saya. Mungkin saya harus ingat akan pesan teman saya di atas, meski saya belum tentu bisa. Kalau mencintai itu tak perlu menggebu-gebu di awal, sehingga saya kehabisan bahan bakar ketika mau membangun cinta dalam sebuah perjalanan yang begitu panjangnya. Perjalanan cinta itu bukan seperti lomba lari seratus meter, tetapi seperti lari maraton.

Tuh, saya pandai, kan kalau sudah memberi nasihat. Padahal, saya sendiri gagal dalam percintaan. Mungkin selain saya harus belajar dari pelari, juga dari unta. Unta bisa hidup di gurun yang panas, saya memiliki hubungan asmara yang kadang seperti gurun. Panas dan kering. Akan tetapi, saya harus bertahan. Unta saja bisa, masak saya enggak?


sumber: http://cetak.kompas.com/read/2010/10/17/04020231/unta

1 komentar:

nyonya kenanga mengatakan...

hehehe...just another point of view :D